Pages

sociabuzz

How about this ?

Selasa, 10 Januari 2012

Pilihan itu Membunuhku….


Pilihan itu Membunuhku….
            Tergores tajam relung dalam itu. Terkoyak habis hingga sobek membentuk ribuan gores luka. Terhempas ia jauh tinggi, melambungkan angan yang tak bertepi. Terbang jauh ia, menari bersama tubuh angin yang tak terlihat. Angan itu angkuh, memamerkan lekuk demi lekuk indahnya. Terbang jauh, dan tak sadar akan daratan gersang di depannya.
10101994
Semilir angin malam menerbangkan lamunanku menuju daratan tak bertuan. Dingin menyapa dan menghempas rambut pohon di belakang sana. “ Hye Miee, kau dimana??” teriak seorang dari balik kabut di depan sana. Aku enggan menjawab. Memilih diam dan memendam sendiri jawabanku.
            “Hye Miee, apa kau tuli? Aku memanggilmu dari tadi. Kau segeralah menghadap ibu. Ibu marah besar padamu.” Wanita  itu menarikku. Menyeretku hingga aku terbentur. Aku tak melawan sedikitpun karena aku tak bisa melawan wanita ini. Saat dia telah sampai dihadapan wanita paruh baya yang duduk dengan angkuhnya di atas sofa dia melepaskan cengkramannya.
            “Hye Miee, kau bodoh! Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan?” aku diam. Aku menunduk dan tak melawan sedikitpun. Wanita itu diam. Dia menunggu mulut ini terbuka dan berucap satu hal padanya. Detik demi detik, berganti menit. Tapi mulut ini masih enggan untuk bicara. Enggan untuk melawan.
            “Pergi kau anak bodoh!” dia menendangku bagai sampah busuk yang dia sendiri enggan untuk melihatnya.  Tubuhku terhempas. Aku bangkit dan pergi tanpa ada seuntai jawaban yang membuat wanita itu senang. Aku kembali duduk. Menerjang kabut pekat di depan sana dengan ribuan goresan pedih. Raga ini memang disini, tapi imajiku jauh entah dimana. Waktuku hanya untuk hayalanku. Ragaku hanya terpatri pada pedihku.

10101994
            “Temui dia atau kau pergi dari rumah ini!” ancaman itu sama sekali tak menggertakku. Aku masih diam. Duduk tenang dan tak peduli pada teriakan demi teriakan dari wanita yang aku sebut ibu. Apa ini yang namanya kasih sayang dari seorang ibu, saat orang yang melahirkanku itu memaksaku untuk menuruti keinginan yang aku tak sanggup melakukannya? Apa ini yang namanya perhatian, saat orang yang sangat aku hormati menendang tubuhku bagai kaleng bekas dijalanan? Hidup itu memang tak adil bukan?
            “Takkan pernah!” itulah kalimat yang akhirnya berhasil aku rangkai setelah sekian lama perdebatan itu terjadi. Aku hanya bisa bilang itu sebagai bentuk balas budi dari orang yang telah melahirkanku itu. Wanita yang kusebut ibu itu menarik rabutku.
            “Kau, setelah sekian lama kau berfikir hanya kata-kata itu yang sanggup mulutmu itu ucapkan? Kau tak tahu balas budi!” wanita itu marah.
            “Aku tak suka dengannya. Aku juga tak suka denganmu. Kalian semua sudah ku anggap mati!”
            “Berani-beraninya kau berkata begitu padaku. Apa ini balasanmu terhadap budi baikku yang telah melahirkanmu? Pergi kau dari sini Kim Hye Miee! Pergi sekarang juga!” sambil memegangi wajahku, wanita itu menuding-nudingkan tangannya. Dia mengusirku.
            “Aku pergi. Terimakasih telah melahirkanku.” Aku hanya sanggup mengucapkan itu pada wanita yang memiliki surga di telapak kakinya. Aku memang durhaka. Tapi aku harus memilih, antara perasaanku dan perjodohan gila itu.
10101994
            Aku pergi dari istanaku yang megah. Yang penuh kemewahan namun tak memberiku kebahagiaan sedikitpun. Aku juga punya pilihan. Aku juga punya hak untuk memilih sendiri jalan hidupku. Tanpa ia, dia atau mereka yang turut campur dalam pilihanku. Aku merasa dijual, merasa dijadikan barang yang akan melunasi hutang-hutang keluargaku. Jika saja keserakahan ayahku tidak menjadi-jadi, hidupku dan keluargaku tak mungkin seperti ini. Dulu, waktu ayahku belum dibutakan oleh harta duniawi hidup keluarga kami baik-baik saja. Tak ada pemaksaan, tak ada pertengkaran. Tapi kini, harta telah menghancurkan segalanya. Harta juga yang telah membuat aku harus rela melawan orang tuaku.  Semua bermula dari harta, saat orang tuaku bangkrut dan terpaksa kehilangan segalanya, dan aku sebagai icon pembayarannya karena akan dijadikan istri rekan bisnis ayahku.
            “Hutangmu aku anggap lunas jika kau rela putrimu aku jadikan istri keduaku, Hyun Joong. Bagaimana, apa kau setuju?” lelaki itu meberikan sebuah tawaran pada ayahku.
            “Tapi, apa tidak ada yang lainnya Tuan Maa? Putriku masih muda. Dia tak mungkin mau menikah diusianya yang sekarang ini masih duapuluhan.” Ayahku kembali menawar.
            “Tidak ada Tuan Joong. Jika kau tak setuju dengan tawaranku apa boleh buat?” lelaki itu pergi. Ayahku duduk. Aku segera pergi dari tempat itu. Aku tak percaya jika hanya ini jalan yang dapat membuat keluargaku terbebas dari hutang-hutang itu.
10101994
            Ayahku terus membujukku untuk menuruti keinginan gila itu. Aku tak menjawabnya. Aku bahkan tak mendengarkan apa yang dia katakan padaku. Aku diam. Hanya diam yang mampu membuatku bertahan hingga saat ini dan saat kedepan dimana kesabaranku habis. Saat dimana aku harus menentukan pilihanku. Semoga sang Buddha mau memaafkan aku. Seorang anak durhaka yang tak mampu membahagiakan sesamaku dan orang tuaku. Amitabha.
By ; Adis Jerry

0 komentar:

Posting Komentar

 

Bli Wayan. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com