Wanita itu, Ibuku!
Dia adalah manusia di persimpangan. Dia tak pernah tahu arah dan tujuan hidupnya. Berpuluh-puluh persimpangan telah ia lalui. Namun ia tak pernah tahu arah. Dia tak tahu, apakah dia harus belok kiri atau belok kanan. Yang ia tahu hanyalah terus dan terus berjalan sampai titik lelahnya bicara. Jika ia mundur, ia berarti akan mengulang dari titik awal, dan jika ia berjalan terus ia akan menemui titik akhir. Sedangkan ia sendiri bingung apa yang harus ia lakukan jika telah sampai di titik akhir.
10101994
Aku terus berjalan. Menyusuri setapak demi setapak jalanan berdebu di persimpangan itu. Aku tak tahu harus mengambil arah mana untuk dapat sampai di tempat yang aku cari. Rumah Ibuku. Aku sudah lupa dengan daerah ini. Puluhan tahun yang lalu, saat aku masih tinggal disini tak banyak memori yang dapat otakku rekam. Yang aku ingat hanya persimpangan kecil dengan pohon cempaka putih di pinggirnya.
“Maaf bapak, apa bapak kenal dengan rumah ini?” sambil menunjukkan sebuah foto pada seorang penduduk yang sedari tadi memperhatikan kedatanganku.
“Ooo… iya mbak saya tahu, dari sini mbak lurus saja. Nah, sampai di pertigaan sana mbak belok kanan. Rumah nomor tiga dengan pagar warna putih, nah itu dia rumahnya mbak.” Jelas penduduk tersebut.
“Makasi ya pak.”
Aku segera menuju alamat yang diberitahu oleh penduduk tadi. Aku rasa setelah puluhan tahun aku tinggalkan, desa ini tak banyak berubah. Pohon cempaka itu masih tetap berdiri dengan anggunnya di persimpangan tadi. Tak lama kemudian akupun sampai di tempat yang aku tuju. Rasanya rumah ini masih tetap sama. Hanya saja pagar yang dulunya menggunakan turus kini berubah menjadi kayu bercat putih. Pohon rambutan yang dulunya aku tanam bersama ibu di pojok kiri rumah ternyata masih ada, bahkan sedang berbuah. Hanya itu memori yang dapat otakku putar. Saat aku diangkat anak oleh orang tua angkatku umurku kira-kira baru tiga tahun. Setelah sekian lama aku mematung di depan rumah tersebut aku segera saja masuk menuju halaman rumah. Pintu rumahnya tertutup. Sepertinya tak ada orang di rumah ini. Aku mencoba mengetok pintu rumah dan memanggil orang rumah. Namun tak ada jawaban. Hipotesaku tentang keadaan rumah ini ternyata benar. Rumah ini kosong. Aku putuskan untuk menunggu di luar saja. Dan tanpa sadar aku tertidur.
10101994
“Hei… hei.. bangun nak.” Seorang wanita paruh baya menepuk-nepuk bahuku. Akupun terbangun karena aku rasa pemilik rumah ini sudah datang.
“Eh, ibu. Maafkan saya bu. Saya ketiduran. Ibu yang punya rumah ini?” tanyaku pada wanita tersebut. Tuhan, bahkan wajah ibuku pun sama sekali aku tak mengingatnya. Yang aku ingat ibu adalah sosok wanita pekerja keras dan bijaksana. Ibu sering mendongengiku sebelum aku beranjak tidur.
“Iya, gak papa nak. Ibu bukan yang punya rumah. Yang punya rumah di sini namanya Ibu Miran. Maaf, dia itu sekarang sudah gila nak. Dia dipasung di belakang rumah karena sering keluyuran sambil berteriak-teriak nama anaknya. Kadang kalau dia duduk di pinggir jalan dia suka menangis. Jika ada orang yang menghampirinya atau sekedar menenangkannya dia akan melempari orang tersebut dengan benda apa saja yang ada di dekatnya. Kalau boleh tahu anak ini siapa dan datang dari mana?” aku terkejut mendengar penjelasan ibu tersebut. Aku tak menyangka kalau ibu kandungku ternyata gila. Hidup tanpa ayah sejak kecil membuat ibuku menjadi tulang punggung keluarga. Ibu bekerja siang dan malam. Tak kenal hujan atau terik. Ibu bilang ini semua demi masa depanku. Ibu selalu berpesan padaku agar kelak aku bisa menjadi anak yang berguna, berbudi dan berbakti pada orang tua. Sedikit-demi sedikit aku mulai mengingat kembali wajah ibu, dia cantik, memiliki lesung pipit dan tahi lalat di pinggir matanya. Mata ibu sangat indah. Sinar matanya memncarkan binar-binar penuh rasa kasih sayang. Ya kini aku ingat wajah ibuku.
“Ibu tidak kenal wajah saya? Saya Ling Meichan bu. Anak ibu Miran. Apa ibu lupa pada saya?” jawabku.
“Astaga nak. Apa kamu benar Meichan? Meichan yang dulu sering minta kue lapis pada ibu ketika ibu sedang berjualan?”
“Iya bu. Ini saya. Ibu tolong antarkan saya ketemu ibu saya bu. Saya mohon.” Pintaku pada ibu Sutrisna. Ibu Sutrisna lalu mengantarku bertemu ibu. Sungguh menyedihkan keadaan ibuku. Beliau dipasung. Rambut panjangnya terurai dan tak pernah disisir. Pakaiannya kotor dan compang camping. Kulitnya kotor. Dan terlihat guratan-guratan keriput memenuhi wajahnya.
“Heeiiiiiiiiii…………… kamu orang bodoh, ngapain kamu kesini? Aaa….. hahahahaa….” Beliau berteriak sambil menggendong sebuah boneka lusuh. Aku yakin boneka itu pasti telah menemani hari-hari ibu di tempat penyiksaan ini.
“Ibu, ini ada yang mau ketemu ibu. Ibu tenang ya.” Pinta bu Sutrisna. Aku lalu berjalan mendekati ibuku. Beliau beringsut dan melempariku dengan jerami dan boneka lusuhnya. Sambil berteriak-teriak histeris menyuruhku dan ibu Sutrisna pergi. Aku tak sanggup melihat ini semua. Tanpa aku sadar ada air yang mengalir membasahi pipiku.
“Ibu, ini aku bu. Meichan anak ibu. Ibu ingat aku kan bu?” tanyaku pada beliau.
“Aaaaa….. hahha, Meichan? Meichan?” beliau terus bertanya. Sesekali beliau tertawa, dan sesekali juga menangis.
“Ibu sadar bu.”
“Tidak, tidak. Tidaaaakkk… aku tidak menjual anakku. Heeehhhhh… aku tida pernah menjual ankku pada orang itu. Dia sendiri yang mengambilnya. Dia merebutnya. AKU TIDAK MENJUAL ANAKKU!!!” teriakan beliau mencerminkan rasa bersalah yang teramat dalam. Suara parau beliau begitu menyayat kalbu.
“Ibu tenang bu. Ibu memang tidak menjualku. Aku sendiri yang dulu memilih ikut dengan mereka. Ibu sadar bu.” Ibu mungkin merasa bersalah denganku. Karena terlilit hutang banyak dengan keluargaku yang sekarang mengambilku sebagai anak angkat mereka. Aku dibawa pergi dari desa ini menuju Australi. Aku disekolahkan tinggi-tinggi, dan dimanjakan layaknya anak kandung mereka. Dan kini saat aku kembali ke Indonesia aku kembali ingat akan orang yang telah melahirkanku ke dunia ini. Ibu.
“Tidak, tidak. Pergi kamu dari sini. Aku bukan ibumu. AKU BUKAN IBUMU!!” sekali lagi ibu berteriak histeris. Aku tak sanggup lagi melihat keadaan ibu seperti ini. Aku pergi dari tempat itu. Menyisakan puluhan sayatan-sayatan dalam relungku. Setapak demi setapak langkahku meninggalkan jutaan penyesalan yang teramat dalam. Ibu, maafkan kepergianku dua puluh tahun lalu. Aku sayang ibu.
By : Adis Jerry
0 komentar:
Posting Komentar